"Sendirian aja dhek Lia? Masnya mana?", sebuah pertanyaan
tiba-tiba mengejutkan aku yang sedang mencari-cari sandal sepulang
kajian tafsir Qur’an di Mesjid komplek perumahanku sore ini. Rupanya
Mbak Artha tetangga satu blok yang tinggal tidak jauh dari rumahku. Dia
rajin datang ke majelis taklim di komplek ini bahkan beliaulah orang pertama yang aku kenal disini, Mbak Artha juga yang memperkenalkanku dengan majelis taklim khusus Ibu-ibu dikomplek ini. Hanya saja kesibukan kami masing-membuat kami jarang bertemu, hanya seminggu
sekali saat ngaji seperti ini atau saat ada acara-acara di mesjid.
Mungkin karena sama-sama perantau asal Jawa, kami jadi lebih cepat
akrab.
"Kebetulan Mas Adi sedang dinas
keluar kota mbak, Jadi Saya pergi sendiri", jawabku sambil memakai
sandal yang baru saja kutemukan diantara tumpukan sandal-sendal yang
lain. "Seneng ya dhek bisa datang ke pengajian bareng suami, kadang
mbak kepingin banget ditemenin Mas Bimo menghadiri majelis-majelis taklim",
raut muka Mbak Artha tampak sedikit berubah seperti orang yang kecewa.
Dia mulai bersemangat bercerita, mungkin lebih tepatnya mengeluarkan
uneg-uneg. Sebenarnya aku sedikit risih juga karena semua yang Mbak
Artha ceritakan
menyangkut kehidupan rumahtangganya bersama Mas Bimo. Tapi ndak papa
aku dengerin aja, masak orang mau curhat kok dilarang, semoga saja aku
bisa memetik pelajaran dari apa yang dituturkan Mbak Artha padaku. Aku
dan Mas Adi kan menikah belum genap setahun, baru 10 bulan, jadi harus
banyak belajar dari pengalaman pasangan lain yang sudah mengecap asam
manis pernikahan termasuk Mbak Artha yang katanya sudah menikah dengan
Mas Bimo hampir 6 tahun lamanya.
"Dhek Lia, ndak
buru-buru kan? Ndak keberatan kalo kita ngobrol-ngobrol dulu",
tiba-tiba mbak Artha mengagetkanku. " Nggak papa mbak, kebetulan saya
juga lagi free nih, lagian kan kita dah lama nggak ngobrol-ngobrol",
jawabku sambil menuju salah satu bangku di halaman TPA yang masih satu
komplek dengan Mesjid.
Dengan suara yang pelan namun tegas mbak
Artha mulai bercerita. Tentang kehidupan rumah tangganya yang dilalui
hampir 6 tahun bersama Mas Bimo yang smakin lama makin hambar dan
kehilangan arah.
"Aku dan mas Bimo kenal sejak kuliah
bahkan menjalani proses pacaran selama hampir 3 tahun sebelum
memutuskan untuk menikah. Kami sama-sama berasal dari keluarga yang
biasa-biasa saja dalam hal agama", mbak Artha mulai bertutur. "Bahkan,
boleh dibilang sangat longgar. Kami pun juga tidak termasuk mahasiswa
yang agamis. Bahasa kerennya, kami adalah mahasiswa gaul, tapi cukup berprestasi.
Walaupun demikian kami berusaha sebisa mungkin tidak meninggalkan
sholat. Intinya ibadah-ibadah yang wajib pasti kami jalankan, ya
mungkin sekedar gugur kewajiban saja. Mas Bimo orang yang sabar,
pengertian, bisa ngemong dan yang penting dia begitu mencintaiku,
Proses pacaran yang kami jalani mulai tidak sehat, banyak
bisikan-bisikan syetan yang mengarah ke perbuatan zina. Nggak ada
pilihan lain, aku dan mas Bimo harus segera menikah karena dorongan
syahwat itu begitu besar. Berdasar inilah akhirnya aku menerima ajakan
mas Bimo untuk menikah".
"Mbak nggak minta petunjuk
Alloh melalui shalat istikharah?", tanyaku penasaran. "Itulah dhek,
mungkin aku ini hamba yang sombong,untuk urusan besar seperti nikah ini
aku sama sekali tidak melibatkan Alloh. Jadi kalo emang akhirnya
menjadi seperti ini itu semua memang akibat perbuatanku sendiri"
"Pentingnya
ilmu tentang pernikahan dan tujuan menikah menggapai sakinah dan
mawaddah baru aku sadari setelah rajin mengikuti kajian-kajian guna
meng upgrade diri. Sejujurnya aku akui, sama sekali tidak ada kreteria
agama saat memilih mas Bimo dulu. Yang penting mas Bimo orang yang
baik, udah mapan, sabar dan sangat mencintaiku. Soal agama, yang penting menjalankan sholat dan puasa itu sudah cukup.
Toh nanti bisa dipelajari bersama-sama itu pikirku dulu. Lagian aku kan
juga bukan akhwat dhek, aku Cuma wanita biasa, mana mungkin pasang
target untuk mendapatkan ikhwan atau laki-laki yang pemahaman agamanya
baik", papar mbak Artha sambil tersenyum getir.
Aku
perbaiki posisi dudukku, aku pikir ini pengalaman yang menarik. Rasa
penasaran dan sedikit nggak percaya karena Mbak Artha yang aku kenal
sekarang adalah tipikal wanita sholehah, berhijab rapi, tutur kata
lembut, tilawahnya bagus dan smangatnya luar biasa. Benar-benar jauh
dari profil yang di ceritakan
tadi. Ternyata benar kata pepatah, bahwa pengalaman adalah guru yang
paling berharga. Mungkin bertolak dari minimnya pengetahuan agama,
akhirnya mbak Artha berusaha keras untuk meng-up grade diri. Dan
subahanalloh hasilnya sungguh menakjubkan. Mbak Artha mekar laksana
bunga yang sedang tumbuh di musim semi, tapi siapa sangka ternyata
indahnya bunga itu tak lain karena kotoran-kotoran hewan yang menjadi pupuk disepanjang kehidupannya.
Rupanya
harapan mbak Artha untuk bisa menimba ilmu agama bersama-sama sang
suami tinggal impian. Mas Bimo yang diharapkan bisa menjadi katalisator
dan penyemangat ternyata hanya jalan
ditempat. Hapalan Juz Amma nya belum bertambah, tilawah Al Qur'an-nya
masih belum ada perbaikan masih belum lancar. Sementara kesibukannya
sebagai Brand Manager di salah satu perusahaan Telco milik asing, makin
menyita waktu dan perhatiannya. Masih syukur bisa mengahabiskan weekend
bersama Mbak Artha dan Raihan anak semata wayang mereka, kadang weekend
pun mas Bimo harus ke kantor atau meeting dan lain-lain. Tidak ada
waktu untuk menghadiri majelis taklim, tadarus bersama bahkan sholat berjama’ah pun nyaris tidak pernah mereka lakukan.
Aku
jadi teringat khutbah pernikahanku dengan Mas Adi, waktu itu sang ustad
berkata "Rumah tangga yang didalamnnya ditegakkan sholat berjam’ah
antara anggota keluarga serta sering dikumandangkan ayat-ayat Allloh
akan didapati kedamaian dan ketenangan didalamnya"
"Dhek....", suara mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Iya mbak, saya masih denger kok. Saya hanya berpikir ini semua bisa menjadi ladang amal buat mbak Artha", jawabku sigap supaya nggak terlihat kalau emang lagi ngelamun.
"Pada
awalnya aku juga berpikir seperti itu dhek. Aku berharap Mas Bimo juga
memiliki keinginan yang sama dengan ku untuk memperdalam pengetahuan
kami terhadap Islam. Aku cukup gembira
ketika mas Bimo menyambut ajakanku untuk sama-sama belajar. Namun dalam
perjalanannya, smangat yang kami miliki berbeda. Mas Bimo seolah jalan
ditempat. Sempat miris hati ini ketika suatu saat aku meminta beliau
menjadi imam dalam sholat magrib. Bacaan suratnya masih yang itu-itu
juga dan masih terbata-bata.Aku baru tau bahwa dia belum pernah khatam
Qur’an. Harusnya kan suami itu imam dalam keluarga ya dhek?", mata mbak
Artha mulai berkaca-kaca.
"Apa harapanku terlalu
tinggi terhadap suamiku? Bukankah harusnya suami itu adalah Qowwam,
pemimpin bagi istrinya. Lalu bagaimana jika sang pemimpin saja belum
memiliki bekal yang cukup untuk menjadi seorang pemimpin?", suara mbak Artha mulai bergetar.
"Terkadang
aku ingin sekali tadarus bersama suami, tapi itu semua nggak mungkin
terjadi selama suamiku tidak mau belajar lagi membaca Al-qur'an. Aku
juga merindukan sholat berjama’ah dimana suami menjadi imannya
sementara kami istri dan anak menjadi makmumnya. Apa keinginanku ini
berlebihan dhek?", tampak bulir bening mulai mengalir dipipi mbak Artha.
"Berbagai
cara sudah ku coba, supaya Mas Bimo bersemangat memperbaiki diri
terutama dalam hal ibadah. Tentunya dengan sangat hati-hati supaya
tidak menyinggung perasaannya dan supaya tidak berkesan menggurui. Aku
mulai rajin mengikuti kajian-kajian keislaman, mencoba sekuat tenaga
untuk sholat 5 waktu tepat pada waktunya dan tilawah qur’an setelah
sholat subuh. Bahkan berusaha bangun malam menunaikan tahajud serta
menjalankan sholat dhuha dipagi hari. Semuanya itu kulakukan, dengan
harapan mas Bimo pun akan menirunya. Aku berharap sekali dia terpacu
dan semangat, melihat istrinya bersemangat", papar mbak Artha dengan
suara yang agak tinggi.
"Tapi sampai detik ini semuanya
belum membuahkan hasil. Aku seperti orang yang berjalan sendirian.
Tertatih, jatuh bangun berusaha menggapai cinta Alloh. Aku butuh orang yang bisa membimbingku menuju surga. Dan harusnya orang itu adalah Mas Bimo, suami ku"
Kurangkul
pundaknya, sambil berbisik "sabar ya mbak, mudah-mudahan semuai
harapanmu akan segera terwujud". Mbak Artha tampak agak tenang dan
mulai melanjutkan ceritanya.
"Dari segi materi materi apa yang Mas Bimo berikan sudah lebih dari cukup, overall Mas
Bimo suami yang baik dan bertanggung jawab. Bahtera rumah tangga kami
belum pernah diterpa badai besar, semuanya berjalan lancar. Sampai
disuatu saat mbak mulai menyadari sepertinya bahtera kami telah
kehilangan arah dan tujuan. Kami hanya mengikuti
arus kehidupan yang smakin lama smakin membawa kami kearah yang tidak
jelas. Kami sibuk dengan aktifitas kami masing-masing. Kehangatan,
kemesraan, ungkapan sayang yang dulu paling aku kagumi dari Mas Bimo
sedikit demi sedikit terkikis di telan waktu dan kesibukannya. Dan yang
lebih parahnya lagi, unsur religi sama sekali tak pernah di sentuh Mas Bimo sebagai kepala keluarga. Fungsi qowam sebagai pemimpin dalam menggapai cinta hakiki dari Sang Pemilik Cinta,
terabaikan. Mungkin karena memang bekalnya yang kurang. Sunguh, harapan
menggapai sakinah dan mawaddah serta rahmah semakin hari kian jauh dari
pandangan. Rumah tangga kami bagai tanpa ruh dan kering", suara mbak
Artha mulai bergetar kembali.
Aku jadi
speachless nggak tau musti berkata apa lagi. Ternyata ketenangan rumah
tangga mbak Artha, menyimpan suatu bara yang setiap saat bisa membakar
hangus semuanya. Hanya karena
satu hal, yaitu alpanya sentuhan spritual dalam berumahtangga. Atau
mungkin juga adanya ketidaksamaan visi atau tujuan saat awal menikah
dulu. Bukankan tujuan kita menikah adalah ibadah untuk menyempurnakan
setengah agama. Idealnya, setelah menikah keimanan, ibadah kita makin
meningkat. Karena ada suami yang akan menjadi murobbi atau mentor bagi
istri, atau kalaupun sebaliknya jika istri yang lebih berilmu tidaklah
masalah jika istri yang menjadi mentor bagi suami. Yang penting tujuan
menyempurnakan dien guna menggapai sakinah dan mawaddah melalui cinta dan
rahmah makin hari makin terwujud. Mungkin itulah sebabnya mengapa
kreteria agama lebih diutamakan daripada fisik, harta dan keturunan.
Ternyata cinta saja tak cukup untuk
bekal menikah, begitupun dengan harta. Pernikahan merupakan hubungan
secara emosional yang harus ditumbuhkan dengan sangat hati-hati, penuh
kepedulian dan saling mengisi.Bahkan puncak kenikmatan sebuah
pernikahan bukanlah dicapai melalui penyatuan fisik saja melainkan
melalui penyatuan emosional dan spiritual. Pernikahan adalah sarana
pembelajaran yang terus menerus. Baik untuk mempelajari karakter
pasangan ataupun untuk meng upgrade diri masing-masing.
"Dhek
Lia....", Mbak Artha membuyarkan lamunanku. "Makasih ya dhek dah mau
jadi kuping buat mbak", mbak Artha menggenggam tanganku sambil
tersenyum. "Mbak yakin dhek Lia bisa dipercaya, do'akan supaya mbak
diberikan jalan yang terbaik sama Alloh".
Aku pun tersenyum,
"Insyaalloh mbak, makasih juga dah mau sharing masalah ini dengan saya.
Banyak hikmah yang bisa saya dapat dari cerita mbak. Saya masih harus
banyak belajar soal kehidupan berumah tangga mbak. Jazakillah".
Tak terasa
hampir 2 jam kami ngobrol di teras TPA. Kumandang adzan dhuhur,
mengakhiri obrolan kami. Sambil menuju tempat wudhu mesjid untuk sholat
dhuhur berja'maah kusempatkam mengirim sms ke mas Adi. "Mas aku kangen, kangen sholat bareng, kangen tadarus bareng cepet pulang ya Mas. Uhibbukafillahi Ta'ala"
Welcome To Blog
0 Responses
Langganan:
Posting Komentar (Atom)